Home / Pendidikan

Selasa, 14 Januari 2025 - 21:23 WIB

Unpatti Ambon Kukuhkan 5 Guru Besar

GlobalMaluku.ID,Ambon-Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, kembali mengukuhkan 5 guru besarnya. Pengukuhan dilakukan dalam rapat senat terbuka luar biasa, di kampus Poka oleh Rektor, Prof. Dr. Fredy Leiwakabessy, pada Selasa (14/1/2025).

Kelima profesor baru tersebut, dua orang berasal dari Fakultas Perikanan dan Ilmy Kelautan, satu orang dari FKIP, satu dari Fakultas Pertanian dan satunya dari Fakultas Hukum.
Mereka adalah Prof. Dr. Yoisye Lopulalan, S.Pi., M.Si. dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Sosial dan Ekonomi Perikanan Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan; Prof. Dr. Karolis Anaktototy, S.Pd, dikukuhkan sebagai guru besar Bidang Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan; Prof. Dr. Ir. Wardis Girsang, M.Si sebagai Guru Besar Dalam Bidang Manajemen Sistem Pedesaan
Fakultas Pertanian Universitas Pattimura;
Prof. Dr. Semuel Frederik Tuhumury, M.Sc dikukuhkan sebagai guru besar Bidang Ilmu Konservasi Sumber Daya Alam Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan dan
Prof. Dr. Barzah Latupono, S.H.,M.H dikukuhkan sebagai Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.
Dalam pengukuhan tersebut, Prof. Dr. Yoisye Lopulalan dalam karya ilmiahnya tentang “Perikanan TradisionalDalam Tantangan Perikanan Masa Kini”

Ia mengatakan, permasalahan pembangunan perikanan sangat kompleks dan rumit karena tidak hanya
menyangkut aspek perikanan semata, tetapi juga terkait dengan aspek
pendukung lainnya yang terkadang justru dominan, seperti sarana dan
prasarana, keuangan (finansial), sumber daya manusia, serta
pengembangan ilmu dan teknologi perikanan.

Menurutnya, selama ini, perikanan di Indonesia dibedakan menjadi dua kelompok usaha,
yaitu: (1) Perikanan modern, yang ditandai oleh pemakaian teknologi canggih,
armada penangkapan besar dengan alat tangkap yang efektif, waktu
operasi panjang di daerah penangkapan yang jauh, serta produksi dan
produktivitas yang tinggi dengan orientasi pasar yang luas; (2).Perikanan tradisional, yang ditandai oleh kesederhanaan seperti armada kecil, daerah penangkapan terbatas, alat tangkap yang kurang
produktif, kemampuan nelayan yang rendah, serta orientasi pada
pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan pasar domestik.

Dikatakan, bahwa kebijakan pemerintah sering kali tersegmentasi ke dalam dua
kategori tersebut. Pengembangan perikanan modern diarahkan untuk
memacu produksi demi meningkatkan pendapatan nasional. Sedangkan
kebijakan perikanan tradisional difokuskan pada peningkatan
kesejahteraan nelayan agar tidak berada dalam kategori masyarakat miskin atau termarjinalkan.

“Namun, peningkatan kapasitas nelayan tradisional tidak akan tercapai tanpa transformasi struktural yang memberikan akses kepada nelayan tradisional terhadap komponen perikanan modern, seperti armada dan alat tangkap yang lebih baik. Hal ini sering kali menyebabkan kesenjangan antara kedua kelompok, yang pada akhirnya melestarikan stigma negatif terhadap nelayan tradisional,”ujarnya.

Dia juga mengatakan tentang kondisi ini menciptakan ketimpangan serius, yang menghambat perkembangan subsektor perikanan tangkap di tanah air. Hambatan utama yang dihadapi nelayan tradisional antara lain: (1) Overfishing dan degradasi lingkungan akibat tingginya intensitas
penangkapan ikan di perairan pantai; (2) Produktivitas rendah (sekitar 4,8 kg/nelayan), yang menyebabkan
kemiskinan berkepanjangan; (3) Mutu produk yang rendah karena kurangnya dukungan teknik penanganan ikan yang baik; (4) Rendahnya kualitas sumber daya manusia, yang menghambat adopsi
inovasi baru; (5) Keterbatasan modal, karena kurangnya jaminan pengembalian kredit dari perbankan.
“Kesteven (1973) membagi nelayan menjadi tiga kelompok: industri,
artisenal, dan subsisten. Nelayan industri dan artisenal berorientasi komersial, sementara nelayan subsisten memanfaatkan hasil tangkapan
untuk kebutuhan harian,”ujarnya.
Selanjutnya, Prof. Dr. Karolis Anaktototy dalam karya ilmiah tentang “Bahasa Inggris Sebagai Lingua Franca Global: Sejarah, Peran dan Pembelajaran di Perguruan Tinggi” mengatakan, Bahasa Inggris sebagai lingua franca atau bahasa pengantar digunakan untuk menghubungkan penutur yang memiliki bahasa ibu yang berbeda.
Penyebaran penggunaan Bahasa Inggris sebagai lingua franca tidak dapat dilepaspisahkan dengan sejarah kolonialisme Inggris Raya terhadap banyak negara di dunia. Dari catatan sejarah, Inggris merupakan negara
kolonial terbesar yang pernah menjajah sebanyak 115 negara yang tersebar di benua Asia, Afrika, Amerika, dan Australia.
Pada abad ke -16 muncul istilah ‘Age of Discovery’ di Inggris. Pemikiran ini terkait dunia baru yang dianggap memiliki penemuan baru yang belum perna ada. Inggris sebagai salah satu negara yang cukup maju menginginkan lebih banyak tanah kekuasaan demi
membangun sebuah komunitas baru yang dikenal dengan nama koloni. Kolonisasi Inggris dimulai pada tahun 1600-an ketika orang-orang Inggris bermigrasi ke Amerika Utara. Migrasi orang-orang Inggris dilatarbelakangi beragam motif seperti politik, agama, dan ekonomi.
“Pada awal abad ke-17, ribuan kaum Puritan Inggris bermigrasi dan menetap di Amerika Utara, hampir semuanya di New England (Maine, Vermont, New Hampshire, Massachusetts, Connecticut, dan Rhode Island). Kaum Puritan adalah anggota Gereja Inggris yang sangat taat
dan percaya bahwa Gereja Inggris belum cukup direformasi oleh sebab itu mereka bermigrasi ke Amerika Utara agar bebas menjalankan doktrin agama mereka,”ujarnya.
Tak hanya itu, kolonialisme Inggris didorong faktor politik dan sosial.
Pembentukan demokrasi perwakilan di Inggris sejak abad ke-17 membuat mereka yakin itu bentuk pemerintahan terbaik. Mereka menyatakan jika bisa menyebarkan demokrasi ke seluruh
dunia, maka setiap negara akan mendapat keuntungan.
Selain itu, kenaikan harga dan biaya
hidup yang tajam membuat banyak orang resah sehingga banyak orang Inggris melihat bahwa penjajahan di Dunia Baru mungkin berkontribusi pada kekuasaan dan kemakmuran tanah air mereka.
Dan pada tahun 1700-an di Asia Tenggara Inggris menjajah Malaysia, Singapore, dan Brunai Darussalam. Pada tahun 1757 dan seterusnya, British East India Company mulai menguasai sebagian besar wilayah India. Uang yang dihasilkan oleh Inggris mengeksploitasi penguasa dan
pekerja lokal mendanai kemajuan “Revolusi Industri” yang berkelanjutan. Kemudian pada tahun 1858, India menjadi koloni resmi Kerajaan Inggris.
” Pada tahun 1770, penjelajah Inggris, James Cook, memetakan dan mengklaim pantai timur Australia atas nama Inggris Raya, dan Armada Pertama kapal Britania tiba di Sydney pada tahun 1788 untuk mendirikan koloni penjara New South Wales, yang secara resmi didirikan pada 7 Februari 1788. Penduduk keturunan Eropa kian bertambah banyak dalam beberapa
dasawarsa berikutnya, dan pada akhir demam emas yaitu pada dasawarsa 1850-an, sebagian besar benua Australia telah dijelajahi oleh pemukim asal Eropa dan berdirilah lima koloni Britania berpemerintahan mandiri,”ujarnya. Setelah itu, pada tahun 1880-an, terjadi perebutan Afrika dan Inggris menguasai 30 persen populasi Afrika. Negara-negara Afrika yang dijajah Inggris antara lain Mesir, Sudan, Tanzania, Kenya, Uganda, Nigeria, Ghana, Afrika Selatan, Zimbabwe, Zambia, Malawi, Botswana, Sierra
Leone, Gambia, Kamerun, Lesotho, Swaziland, Mauritius, dan Seychelles. Sedangkan negara-negara Asia dan Timur Tengah yang dijajah Inggris ialah Malaysia, Singapura, Brunai Darusallam, Indonesia, Afganistan, India, Pakistan, Bangladesh, Sri Langka, Palestina, Yodania, Libanon, Suria, Kuwait, Irak dll.
Dari wilayah-wilayah yang dikuasai terbentuklah sebuah imperium yang disebut British Empire atau Imperium Britania. Imperium Britania adalah suatu kekuasaan yang terdiri dari wilayah-wilayah koloni, protektorat, mandat, dominion dan wilayah lain yang pernah diperintah atau dikuasai oleh Britania Raya. Imperium Britania dimulai pada akhir abad ke-16 sejalan dengan berkembangnya kekuatan Angkatan Laut Britania Raya dan merupakan imperium yang paling luas dalam sejarah dunia serta pada suatu periode tertentu menjadi kekuatan utama di dunia. Pada tahun 1922, Imperium Britania mencakup populasi sekitar 458 juta orang, kurang lebih seperlima populasi dunia pada waktu itu, yang membentang luas dari
33,700,000 kilometer persegi atau seperempat luas total bumi. Akibatnya, pengaruh Britania Raya, terutama Inggris melekat kuat di seantreo dunia dalam praktek ekonomi, hukum dan
sistim pemerintahan, masyarakat, olahraga (kriket dan sepak bola), serta penggunaan bahasa Inggris.

Baca Juga  Politeknik Negeri Ambon Sukses Gelar Grand Launching Program Penelitian dan Pengabdian PNBP 2023

Berikutnya Prof. Dr. Ir. Wardis Girsang tentang “Percepatan Pengentadan Kemiskinan Berbasis Gugus Pulau di Provinsi Maluku” mengatakan, provinsi ini masih bergelut dengan masalah kemiskinan selama 3-4 dekade
terakhir. Sejak tahun 1990, saya banyak belajar dari petani dan nelayan dengan model agroforestry sistem dusung
yang mengintegrasikan hutan dan pesisir / laut, yang berkata: Forest is the mother of the sea. Artinya di pulau-
pulau kecil, laut dan darat satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Menurutnya, potensi sumberdaya alam, darat dan laut, dikelola berkelanjutan dengan kearifan lokal dan modal
sosial yang kuat.
” Saya juga banyak belajar dari petani di desa-desa transmigrasi dengan model integrated livestock farming systems, dimana padi sawah terintegrasi dengan hortikultura dan ternak sapi. Selain itu, saya memperoleh kesempatan mempelajari Gugus Pulau bersama tim
peneliti Unpatti dan Tim Bappeda provinsi Maluku yang melibatkan penggagasnya yaitu Dr. Saleh Latuconsina,”katanya
Dikatakan, potensi pangan lokal yang besar, perikanan dan kelautan,
cengkeh, pala dan kelapa, seharusnya membuat penduduk Maluku, khususnya di pedesaan, sejahtera, tidak miskin,
stunting dan desa tertinggal.

Selanjutnya Prof. Dr. Semuel Frederik Tuhumury dalam paparannya tentang “Konservasi sumberdaya siput Lola (Trochus niloticus/ rochia nilotica Lin., 1767) Wujud Blue Economy” mengatakan, lima (5) program ekonomi biru (Blue Economy) Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu 1) perluasan kawasan
konservasi laut, 2) penangkapan ikan terukur berbasis kuota, 3) pembangunan perikanan budidaya laut, 4) pesisir dan darat secara berkelanjutan, 5) pengawasan dan pengendalian kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk pembersihan sampah plastik di laut melalui Gerakan partisipasi Nelayan. Dikatakan oleh Menteri KKP RI Menteri Trenggono dalam acara Forum Hukum
KKP Tahun 2024 di Surabaya, Implementasi lima (5) program tersebut untuk mendorong pemerataan 3 pembangunan di wilayah pesisir, dengan
mengedepankan produksi perikanan yang bertanggung jawab pada keberlanjutan ekosistem. Program ini juga
mengakomodir dilakukannya perluasan kawasan konservasi untuk menjaga ekosistem laut tetap sehat.
Disamping itu, lima (5) program ekonomi biru menjadi bagian dari upaya KKP mewujudkan Indonesia Emas Tahun 2045 melalui sektor kelautan dan perikanan.
Dalam penjelasannya bahwa hingga saat ini KKP memiliki 17 peraturan yang menjadi instrumen regulasi yang mendukung implementasi program kebijakan ekonomi biru tersebut diantaranya Peraturan Pemerintah
(PP) No. 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, PP No. 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan, PP
No. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, Perpres 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut, hingga Kepmen KP No. 130 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Pengelolaan Sampah Plastik Sektor Kelautan dan Perikanan.
“Dengan adanya arahan pemerintah ini, mengharuskan kita sebagai akademisi untuk terus meneliti dan mengkaji berbagai potensi sumberdaya alam laut guna mengetahui status keberadaan sumberdaya tersebut di alam, sehingga dapat memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan membantu masyarakat kembali membangkitkan budaya
kepedulian terhadap keberlanjutan sumberdaya alam (darat dan laut) yang sejak dahulu telah dilakukan namun
terkikis akibat tuntutan ekonomi yang melilit,”ujarnya.
Dikatakan, salah satu sumberdaya perikanan yang terancam populasinya
karena tingkat perburuan yang tinggi adalah siput lola, sehingga perlu kepedulian kita terhadap
keberlanjutannya.
Dan Prof. Dr. Barzah Latupono tentang “Prinsip Pencatatan Perkaeinan Menurut Hukum di Indonesia” mengatakan, perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
manusia.
Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan
manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan fungsi biologis, melahirkan keturunan, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan, memelihara anak-anak tersebut menjadi
anggota-anggota masyarakat yang sempurna (volwaardig).
Dikatakan, peristiwa perkawinan
selalu memerlukan norma hukum dan tata tertib yang mengaturnya. Penerapan norma hukum dalam peristiwa perkawinan terutama diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing anggota keluarga, guna membentuk
rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo Undang-Undang No.16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, selanjutnya disebut UU Perkawinan merupakan salah satu wujud aturan tata tertib perkawinan yang dimiliki oleh negara Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan negara hukum, yang dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, selanjutnya disebut PP perkawinan disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya seperti Hukum Adat dan Hukum Agama.

Baca Juga  Maya Baby Lewerissa Lantik , Ketua TP-PKK, Pembina Posyandu Dan Dekranasa 9 Kabupaten/Kota Resmi Dilantik

Sebelum diundangkannya Undang-Undang Perkawinan, di Indonesia berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan penduduk di Indonesia, hal ini disebabkan karena adanya pembagian golongan penduduk yang didasarkan pada Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling).”Di Indonesia berlaku berbagai hukum bagi tiap-tiap golongan.

Menurut Hilman Hadikusumah, di Indonesia berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara yakni antara lain: Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresepsi kedalam hukum adat. Pada umumnya, bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam jika melaksanakan perkawinan berlaku ijab kabul antara mempelai pria dengan wali dari mempelai wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam. Hal ini telah merupakan budaya hukum bagi orang
Indonesia yang beragama Islam hingga sekarang,”ujarnya.

Selain itu, bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat. Misalnya bagi orang Bali yang beragama Hindu dimana adat dan agama telah menyatu, maka pelaksanaan perkawinannya dilaksanakan menurut hukum adat yang serangkai upacaranya dengan upacara agama Hindu-Bali yang dianutnya.

Dan bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks
Ordonnantie Christen Indonesia (HOCI) S.1933 Nomor 74. Dumana dalam aturan ini, sekarang sejauh sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor1 Tahun
1974 tentang Perkawinan sudah tidak berlaku lagi.

“Sedangkan bagi orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dengan sedikit perubahan. Aturan ini sekarang sejauh sudah diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan sudah tidak berlaku lagi,”ujarnya.

Namun bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka. Jadi bagi keturunan India, Pakistan, Arab dan lainnya, berlaku hukum adat mereka masing-masing yang biasanya tidak terlepas dari agama dan kepercayaan yang dianutnya.

Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka, berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Termasuk dalam golongan ini orang Jepang atau orang-orang lain yang
menganut asas-asas hukum keluarga yang sama dengan asas-asas hukum
keluarga Belanda.

Dengan lahirnya UU Perkawinan adalah merupakan wujud nyata pembangunan hukum nasional sebagai realisasi politik hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) sehingga terbentuklah UU Perkawinan yang berlaku secara univikasi seperti yang sekarang ini.

Perkawinan adalah Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan menurut UU Perkawinan tidak hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum yang menimbulkan akibat-akibat hukum tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan.

“Sehingga sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan,”ujarnya.

Share :

Baca Juga

Pendidikan

Ini Harapan Rektor Unpatti Pada 1.804 Wisudawan Periode 2024

Pendidikan

Politeknik Negeri Ambon Sukses Gelar Grand Launching Program Penelitian dan Pengabdian PNBP 2023

Pendidikan

Berikan Pengetahuan kepada Anak Sekolah, Satgas TMMD ke-114 Kodim 1506/Namlea Gelar Sosialisasi tanggap Bencana Alam

Pendidikan

SMPTK Yafila Penamatan perdana lukusannya